Dari Jawa Hingga ke Jepang, Rustono Buat Tempe Mendunia Hingga ke Negeri Sakura

Bagi masyarakat Indonesia tempe tentunya bukan lagi sebuah makanan yang terdengar asing. Bahkan hampir seluruh masyarakat dari sabang sampai merauke sudah pernah mencoba sajian dari fermentasi biji kacang kedelai ini. Kapan Tempe pertama kali dibuat di Indonesia? Sebenarnya ini masih pertanyaan yang masih belum terjawab, meskipun demikian makanan tradisonal ini sudah ada sejak berabad-abad lamanya, terutama pada tatanan budaya masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.

Ketenaran tempe rupanya makin merajalela, bahkan kini tempe sudah dapat ditemukan di berbagai tempat makan ataupun hotel di Jepang. Bagimana bisa begitu? Rustomo ialah salah satu orang dibalik ternarnya tempe di negeri Sakura tersebut.

Mulanya pria kelahiran Grobogan, 3 Oktober 1968 mengatakan bahwa bisnisnya ini merupakan nalurinya sejak sebelum berhijrah ke Jepang. Rencananya ke negara Matahari Terbit itu diungkapkannya karena sang istri berwarganegaan Jepang. Jadi selepas ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajang bersama sang istri, Tsuruko Kuzumoto, ia pindah ke Jepang dan memulai karirnya menjadi pegawai bank swasta terlebih dahulu sebelum membuka usaha.

Lama setelah menetap di sana ia mulai melakukan riset kecil-kecilan di sekitar tempat tinggalnya, di Shigaken Otsu-shi Hachiyado, Shiga, Jepang. Sama seperti pebisnis pada umumnya, ia ingin mengetahui peluang bisnis apa yang kira-kira berpotensi di daerah tersebut. Sejauh ia melakukan riset, usaha menjual tempe masih belum ada di sana. Dari sana ia mulai berniat untuk mencoba bisnis tempe dan selanjutnya meminta dukungan sang istri. Restu itu pun didapatkan dan mereka memulai usaha ini dari nol. Dalam artian modal benar-benar dari tabungan yang mereka miliki dan produksi pun dilakukan di rumah.

Namun Rustono sadar bahwa ilmunya untuk membangun sebuah bisnis masih sangat kurang. Sehingga sang istri menganjurkannya untuk cari pengalaman dan belajar ilmu bisnis terlebih dahulu. Mungkin kebanyakan orang berfikir ilmu ini hanya bisa didapatkan dari tempat belajar salah satunya dengan mengikuti sekolah atau pelatihan khusus mengenai bisnis, namun beda halnya dengan Rustono. Ia mencoba belajar berbisnis dengan menjadi pegawai salah satu pabrik roti. Berangkat dari pengalamannya bekerja ia mempelajari bagaimana manajemen dan sumber daya manusia. Selama 3 tahun ia menambah pengalamannya di bidang tersebut sedikit-demi sedikit ia melangkahkan kakinya di bisnis tempe.

Proses trial and error hingga harus kembali ke Indonesia

Sambil bekerja, ia berupaya untuk mewujudkan mimpinya. Rustono mulai mempelajari cara pembuatan tempe dari internet, namun berkali-kali usahanya tersebut gagal. Sehingga cara lainnya pun ia tempuh, yaitu dengan belajar ke pengrajin tempe di Jawa. Kurang lebih 60 pengrajin tempe yang ada disekitaran tempat tinggalnya di Jawa ia sambangai untuk meminta ilmu. Selama 3 bulan ia kembali ke Indonesia hanya untuk belajar cara pembuatannya.

Berkat kuatnya tekad yang ia miliki pada akhirnya usaha tersebut membuahkan hasil. Ia berhasil membuat tempe sesuai dengan keingannya, dan tentunya sesuai juga dengan lidah orang Jepang. Begitu tempenya bisa diproduksi, Rustono pun memutusakan untuk resign dari pekerjaannya dan mulai membuka usaha tempe pada tahun 2000 yang diberi nama Rusto’s Tempeh.

Namun kendala tidak berhenti sampai di sana, produksinya sering gagal. Sempat Rustono harus membuang 16 pak tempe. Tapi berkat kejadian-kejadian itu ia mengaku meskipun sedih, semangatnya makin tercambuk untuk terus memperbaiki proses pembuatan tempe sampai berhasil. Hal ini diyakan oleh Tsuroko, ia mengatakan bahwa dulu uji coba sering dilakukan sampai akhirnya berhasil dan stabil pembuatannya. Bahkan, ada konsumen dari Indonesia yang mengatakan bahwa rasa Ruto’s Tempeh memiliki citra rasa yang sama seperti tempe yang diproduksi di Indonesia. Padahal secara iklim di Jepang dan Indonesia cukup berbeda sehingga akan mempengaruhi rasa dari tempe. Ia menambahkan bahwa semua pembuatannya pure dilakukan di Jepang, yang membuat rasanya sama adalah karena ia mengikuti proses pembuatan pengrajian tempe di Jawa.

Produksi Rusto Tempeh Sampai ke Negara Lain

Pesanan kian makin bertambah dan pekerjaannya pun mulai banyak, maka ia mulai mendirikan pabrik untuk memproduksi tempe buatannya. Pada awalnya ia memperkerjakan sembilan orang Jepang untuk melayani pesanan hotel dan restoran. Lama kelamaan usahanya makin berkembang, bahkan perharinya ia mengatakan minimal bisa mejual lebih dari 50 bungkus yang satu bungkusnya di beri harga 25 yen. Coba kalau kita kalkulasikan penjualan minimal ini selama sebulan, sedikitnya penghasilan kotor Rustono dari menjual Tempeh ini perbulannya berarti 375.000 yen atau sekitar Rp 43.500.000. Ini baru penghasilan minimal loh. Wow!

Ketenaran tempe buatannya ini ia akui berkat promosi dari mulut ke mulut. Bahkan tidak hanya di Jepang, produknya ini sudah tersebar ke belahan dunia lainnya di antaranya, yaitu Korea, Mesiko, Hongaria, Prancis dan Polandia. Meskipun semakin kesini Rustono sadar akan semakin banyak pesaing yang akan mengikuti jejak bisnisnya, tapi ia tidak merasa khawatir. Karena menurutnya setiap tempe pasti memiliki cintra rasa yang berbeda meskipun pesaingnya mengakui ragi yang digunakan asli buatan Indonesia, namun ia yakin ragi yang ia produksi sendiri lah yang lebih baik rasanya. Selain itu, tempe yang ia miliki juga sudah memiliki pelanggan dan ia pun sudah cukup percaya diri karena pasarnya sudah merambah ke pasar internasional.