Sunday, December 1, 2024
spot_img
HomeTips UKM8 Bisnis Sosial yang Bukan Sekedar Mencari Untung Namun Mengemban Misi Sosial....

8 Bisnis Sosial yang Bukan Sekedar Mencari Untung Namun Mengemban Misi Sosial. Berikut 5 Bisnis Sosial yang Berdampak Besar

Berbisnis memang lebih menguntungkan dibandingkan jika bekerja di kantoran, Namun itu adalah bisnis komersial lalu bagaimana jika itu bisnis sosial? Bisakah memiliki dampak yang besar terutama bagi pelakunya dan orang sekitar.

Karena tak dipungkiri terkadang bisnis yang dicari hanya keuntungan pribadi. Namun tidak bagi mereka yang melakoni bisnis sosial. Biasanya mereka melibatkan orang-orang yang tak mampu untuk bekerja bersama mereka sehingga yang mendapatkan keuntungan bukan hanya si pelaku bisnis namun juga masyarakat sekitar.

Pelaku bisnis tersebut disebut dengan sosiopreneur. Seseorang yang melakukan bisnis sosial dan hasilnya bisa memberikan keuntungan hingga perubahan derajat bagi orang sekitar. Sosiopreneur atau bisnis sosial adalah sebuah usaha yang menggabungkan misi kewirausahaan dengan misi sosial. Bisnis sosial biasanya lebih mengutamakan kepentingan sosial dibandingkan dengan mencari keuntungan. Jadi keuntungan yang didapat biasanya untuk kegiatan sosial atau orang-orang yang di bawah garis kemiskinan.

Beberapa tahun belakangan ini bisnis sosial sedang trend di Indonesia. Biasanya mereka terbentuk karena sebuah persoalan yang lingkungan mereka alami bahkan mereka sendiri yang mengalaminya.

Sehingga mereka mengajak orang-orang yang senasib dengannya untuk berbisnis bersama. Bisnis sosial berbeda dengan kegiatan sosial yang biasanya mengumpulkan dana untuk dibagikan ke dalam kegiatan sosial tapi mereka lebih berusaha membuat suatu produk yang kemudian di pasarkan yang akhirnya keuntungannya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan sosial.

Seorang yang melakoni bisnis sosial bisa dikatakan sebagai reformis dan revolusioner karena mereka bisa melakukan perubahan yang mendasar dalam sektor sosial. Sebelum melakukan suatu bisnis biasanya mereka menyurvei terlebih dahulu apa akar masalahnya kemudian baru mengobati gejalanya. Setelah itu baru mereka melakukan perbaikan yang berkelanjutan.

Bisa dibilang seorang sosiopreneur adalah agen perubahan. Dan meskipun mereka melakukan perubahaannya dalam skala lokal. Namun, bisa merangsang perubahan secara global karena bisnis sosial yang sukses mereka lakukan membuat inspirasi banyak orang yang kemudian mereka ingin mencoba mengaplikasikan.

Berikut 5 Bisnis Sosial yang Berdampak Besar di Masyarakat

  1. Bisnis Hijab Nalacity yang Memberdayakan Mantan Penderita Kusta

bisnis Sosial

Anak muda yang melakoni bisnis komersial itu banyak lalu bagaimana dengan bisnis sosial? Sangat langka tentunya bukan? Karena membangun bisnis tidaklah gampang sehingga tak banyak orang yang mau membangun bisnis sosial dengan alasan bisnisnya sendiri belum mendapatkan keuntungan apalagi jika membangun bisnis sosial.

Namun, hal tersebut tidaklah berlaku bagi Hafiza Elvira Nofitariani. Gadis berusia 25 tahun ini menjadi seorang direktur dari Nalacity Foundation yang memberikan pembinaan kepada Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Kota Sitanala Tanggerang. Para mantan penyakit kulit berbahaya tersebut dia ajarkan bagaimana cara menjahit hijab dan aksesoris yang kemudian di pasarkan.

Bagi lulusan Keperawatan Universitas Indonesia ini, mengajak para mantan penderita kusta memang tidak mudah. Pastinya bukan karena ketakutannya akan tertular penyakit tersebut namun karena pandangan sinis para penderita kusta. Mereka pikir Hafizah adalah seorang penipu yang berkedok untuk menawarkan bisnis. Namun Hafizah tak mau berkecil hati perlahan-lahan dia meluluhkan para OYPMK. Hingga mereka mau menjalankan bisnis bersama dengan menjahitkan hijab-hijab yang bahannya dari Hafizah.

Awalnya Hafizah memang hanya menjalankan sebuah program sosial Nalacity di universitasnya yang bernama Indonesia Leadership Development Program (ILDP) Universitas Indonesia. Namun karena melihat potensi para mantan penderita kusta yang luar biasa dia akhirnya secara swadaya bersama teman-temannya melanjutkan program ini secara mandiri.

Hafizah memilih berbisnis hijab, karena saat dia melakukan survei terhadap warga di Sitanala, kaum hawanya rata-rata memiliki kemampuan menjahit meski fisiknya sudah tak lagi sempurna. Sehingga dipilihlah bisnis hijab tersebut. Apalagi bisnis tersebut memang pas dengan trend hijabers beberapa tahun belakangan ini. Berbeda dengan hijab kebanyakan, hijab yang diproduksi oleh Nalacity ada hiasan berupa manik-maniknya sehingga kemudian dikemas unik berbentuk segitiga dan kini bisnis Nalacity sudah berkembang hingga di ekspor sampai Kota Qatar.

  1. Es Krim Osiris Hanya Memperkerjakan Kaum Difabel Saja

bisnis sosial

Penyandang Difabel menurut Undang-Undan No 13 Tahun 2003 pada pasal 5, sebuah perusahaan yang memiliki karyawan 100 karyawan minimal memperkerjakan 1 orang difabel. Namun pada kenyataan kaum difabel tetap saja kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan.

Sehingga membuat 5 mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (UGM) untuk melakukan pendampingan kepada komunitas Difabel di Desa Sidomulyo Bantul. Mereka adalah Aldo Egi Ibrahim, Sheila Reswari, Ali Bachtiar Sirry, Muhammad Andira Barmana, dan Nur’aini Yuwanita Wakan. Mereka melakukan riset mengenai potensi desa yang memang banyak penyandang difabel. Jumlahnya mencapai 90 orang. Kebanyakan dari mereka menjadi difabel akibat dari penyakit polio dan ada juga yang menjadi korban gempa tahun 2006 silam.

Dari salah satu dari kelima mahasiswa tersebut Sheila  yang tetap melanjutkan pendampingan kaum difabel. Karena hasil survei menunjukkan bahwa yang paling potensial di daerah tersebut adalah buah naga sehingga diputuskanlah membuat es krim yang terbuat dari buah naga yang diberi nama es krim Osiris.

Meski usianya masih muda namun usaha Sheila dan timnya tidak sia-sia. Karena es krim Osiris  bukan hanya meningkatkan taraf hidup penyandang difabel namun usaha ini ternyata berkembang pesat dan mendapatkan apresiasi.

Misalnya di tahun 2015 mereka mendapatkan penghargaan Young Social Entrepreneurs 2015 di Singapura yang mendapatkan hadiah sebesar SGD 20.000 atau sekitar Rp 200 juta yang kemudian digunakan untuk membangun pabrik es krim dan membeli motor khusus penyandang difabel (motor roda tiga) agar bisa menjajakan es krimnya.

Selain itu menunjang pemasaran dibuatlah sebuah kedai es krim agar pembeli tak hanya membeli es krim lalu dinikmati di rumah namun bisa langsung dinikmati di kedai. Warung es krim tersebut hanya dikelola oleh penyandang difabel dan keluarganya saja. Joko Susilo (40), penjaga Kedai Ice Cream Osiris sekaligus Ketua Komunitas Difabel Bangkit Maju Desa Sidomulyo mengatakan es krim Osiris lakunya bisa 150 cup namun jika weekend bisa mencapai 300 cup. Selain menjual di kedai, Osiris juga disuplai ke Kopma Universitas Gajah Mada dan berkat bantuan pemerintah bisa di buka di pinggir jalan.

Bisnis sosial ini memiliki tiga konsep yaitu pemberdayaan difabel dan keluarganya, lalu jaminan pendidikan dan kesehatan bagi difabel dan keluarga tidak mampu. Dari konsep tersebut ada hasil yang disisihkan dari penjualan ice cream Osiris untuk membantu para penyandang difabel baik untuk biaya pendidikan maupun kesehatannya.

  1. Produksi Keset yang Memberi Lapangan Kerja kepada 150 Kaum Difabel

bisnis sosial

Ketika kekurangan pada fisik menyebabkan sebagian orang memilih untuk meminta-minta namun pantang bagi Irma Suryati. Dirinya justru membuka lapangan pekerjaan untuk 150 orang penyandang difabel yang nasibnya sama dengan dirinya. Irma bersama sang suami yang juga penyandang difabel membangun usaha kerajinan keset dengan modal kain-kain perca yang berasal dari industri garmen yang kebetulan tak jauh dari rumahnya.

Jika dipikir di awal memang tidak mungkin membangun usaha keset hingga sebesar ini. Sehingga sanggup memperkerjakan 2500 karyawan yang 150 di antaranya adalah penyandang difabel. Apalagi Irma dan suami sama-sama mengalami kecacatan di kaki, lumpuh layu lemas akibat terkena penyakit polio sejak masih anak-anak. Hingga memaksanya untuk berjalan menggunakan tongkat. Namun Irma yang dibantu suami membuktikan bahwa seburam-buramnya sebuah kehidupan bahwa ada harapan dan selalu ada celah yang bisa membawa berkah.

Berkat kegigihan ke duanya, Irma pun mendapatkan berbagai penghargaan yaitu Wirausahawati Muda Teladan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (2007), Perempuan Berprestasi 2008 dari Bupati Kebumen, dan Penghargaan dari Jaiki Jepang, khusus untuk orang cacat. Awalnya Irma bersama sang suami membuat keset bukan untuk usaha melainkan kebutuhan sendiri.

Namun kesetnya dilirik oleh tetangga karena keunikannya dilukis oleh sang suami. Karena banyak yang berminat, Irma pun berpikiran untuk membuka usaha kecil pembuatan keset saja dan saat itu baru dibantu oleh 5 orang karyawan.

Usahanya pun semakin lama semakin berkembang sehingga rumah Irma tak cukup lagi untuk menampung keset-kesetnya. Sehingga di tahun 2002 mereka memutuskan untuk pindah ke Kebumen Kampung Halaman sang suami. Dengan membeli rumah di Jalan Karang Bolong kilometer 7, Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kebumen.

Setibanya di sana, Irma langsung membentuk usaha berbadan Hukum dengan nama Usaha Dagang Mutiara Equipment. Kemudian Irma juga membentuk Pusat Usaha Kecil Menengah Penyandang cacat. Meski usahanya telah sebesar sekarang, namun jangan pikir Irma tak memiliki kesulitan karena di awal mengembangkan usahanya dia mengalami kesulitan untuk mengorganisasi masyarakat di sekitarnya. Namun Irma tak putus asa dia tak mau menyerah, dia mendatangi penduduk dari satu rumah ke rumah yang lain untuk mengajari mereka membuka kesey kemudian mengajari mereka membuka usaha.

Meski telah mengajari namun Irma tetap mendapat cemooh dan rasa tidak percaya dari masyarakat karena melihat kecacatannya. Namun Irma tak patah semangat, bahkan Irma memberikan mesin jahit dan pasokan bahan kepada para  ibu rumah tangga yang produktif. Selain para ibu rumah tangga dan penyandang cacat yang dijadikannya karyawan, Irma pun mulai memperkerjakan para waria dan pekerja seks komersial agar mereka berhenti melakoni pekerjaannya yang negatif itu.

Kini tiap bulan Irma bisa mendatangkan 10 ton kain sisa dari Semarang, dan bisa menghasilkan omzet yang mencapai Rp 40-50 juta. Kesetnya kini bisa ditemui di gerai-gerai yang tersebar di beberapa Kota, dan salah satunya miliki Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Karena Irma pernah beberapa kali bertemu dengan Kemenpora saat itu, Adyaksa Dault yang pernah mengajaknya melihat pameran di Melbourne, Australia mewakili Indonesia dalam pameran kerajinan.

Dari situlah awalnya Irma bisa memasarkan produknya ke luar negeri, yakni Australia, Jerman, Jepang, dan Turki. Kini usaha keset Irma sudah memproduksi 42 macam keset ada dengan bentuk yang beraneka macam mulai dari elips, bunga hingga hewan.

  1. Ketika Bank Sampah Turut Membangkitkan Perekonomian Daerah

Bisnis Sosial

Bisnis sosial yang beberapa tahun ini sedang digandrungi adalah bank sampah. Karena jika dulu sampah dianggap sesuatu yang menjijikkan dan sepatutnya dibuang namun beberapa tahun ini sampang justru sesuatu yang menjual dan menghasilkan banyak uang. Bahkan bisnis ini telah mendapat lampu hijau dari pemerintah. Agar bisa menyelesaikan dua masalah bangsa yaitu kemiskinan dan kebersihan.

Bahkan Bank Sampah kini telah diatur dalam UU nomor 18 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengelolaan sampah dan UU Nomor 81 Tahun 2012 yang mengamati perlunya ada perubahan paradigma yang mendasar dalam pengelolaan sampah yakni dari paradigma kumpul-angkit-buang yang menjadi pengolahan dan bertumpu pada pengurangan dan penanganan sampah.

Bank sampah sendiri memang bukan seperti bank pada umumnya yang tempat menyimpan uang. Namun seperti halnya bank konvensional bank sampah memiliki sitem manajerial yang operasionalnya dilakukan oleh masyarakat dan memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat. Sampah yang disetorkan oleh masyarakat tak bisa langsung disetorkan namun harus dipilah terlebih dahulu sesuai dengan jenisnya apakah itu kaca, plastik, kertas dan metal setelah ditimbang maka baru bisa ditukarkan dengan uang/

Jika menengok ke belakang bank sampah sebenarnya bukanlah program pemerintah namun sebuah kesadaran seorang dosen politeknik Kesehatan Lingkungan di Yogyakarta. Karena melihat banyaknya sampah yang berserakan akhirnya dia pun mencetuskan sebuah ide mendirikan Bank Sampah Gemah Ripah yang dia bangun di dusun Bandengan yang terletak di wilayah perkotaan Kabupaten Bantul pada tanggal 23 Februari 2008.

Di awal bisnis sosial ini sama sekali tidak menggunakan dana untuk modal, hanya menggunakan konsep 3R yaitu Reduce, Reuse dan Recycle. Meskipun tak menggunakan modal, dua bulan pertama Bambang merasakan kesulitan mengajak masyarakat berbisnis sampah ini. Ia pun mencari ide dengan mengajak anak-anak untuk menyetorkan sampahnya ke bank. Karena anak-anak yang menyetorkan sampah ke bank mendapatkan uang akhirnya para orang dewasa pun tertarik ikutan. Hingga akhirnya berkembang hingga sekarang. Bahkan sekarang pemerintah memberlakukan kebijakan yakni tak akan memberikan piala adipura kepada kota yang tidak memiliki bank sampah sehingga hampir semua daerah kini memiliki bank sampah.

  1. IBEKA terangi Desa-Desa di Indonesia

Bisnis Sosial

Masyarakat di Pulau Jawa mungkin jarang merasakan bagaimana gelap gulita karena memang aliran listrik sangat kuat di sana. Namun halnya dengan di berbagai daerah lainnya, gelap gulita sudah akrab bagi mereka. Adalah Tri Mumpuni atau akrab dipanggil Bu Puni seorang pebisnis sosial yang menerangi desa Indonesia satu persatu melalui (Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan) IBEKA.

Bersama sang suami, Iskandar Kuntoadji menawarkan konsep IBEKA yaitu Pembangkit Listrik Bertumpu Pada Masyarakat. Yang membuat Pembangkit Listrik skala mikro di desa terpencil dengan menggunakan sumber air setempat. Mereka berdua mengajak para masyarakat untuk terlibat langsung pembangunan dan pengelolaan pembangkit listrik mikro di desa masing-masing.

Masyarakat tak mendapatkan listrik gratis namun harus membayar lewat koperasi yang telah mereka bentuk sendiri. Setelah uang dari masyarakat terkumpul, maka uang tersebut digunakan untuk memelihara pembangkit listrik setempat. Setelah listrik jadi bukan berarti telah selesai namun Tri mengajak masyarakat untuk memanfaatkan listriknya untuk kegiatan produksi sesuai dengan potensi desa yang dimiliki.

Sistem listrik yang dibangun Direktur IBEKA bersama sang suami bukan hanya menguntungkan bagi masyarakat yang dialiri listrik namun juga PLN dan pemerintah. Mengapa? Karena rakyat yang tadinya tidak memiliki penerangan kini tak lagi terpinggirkan. Sementara PLN tak perlu investasi. Karena yang menginvestasi adalah rakyat sementara keuntungan pemerintah harga listrik mikrohidra.

Kira-kira ada 60 Desa yang telah berhasil diterangi oleh IBEKA.  Mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Tana Toraja (yang paling banyak), Sulawesi Selatan, dan Sumba. Lalu di Papua dan Kalimantan Timur serta Maluku dan Seram Barat.

  1. Bisnis Batik Sejahterakan Warga Tuna Grahita di Desa Gowong

Memiliki kekurangan pada fisik membuat sebagian tuna grahita di Desa Gowong kesulitan dalam mencari pekerjaan. Untungnya ada sekelompok ibu-ibu yang memiliki inisiatif untuk melakukan pemberdayaan kepada mereka yang jumlah 28 orang. Para Tuna Grahita tersebut dibina oleh kelompok swadaya masyarakat dengan program rehabilitasi penyandang disabilitas intelektual berbasis komunitas dengan membentuk sebuah kampung peduli harapan

Mereka diberikan pelatihan berbagai macam ketrampilan salah satunya adalah ketrampilan membatik dan keset. Pelatihan tersebut memang sengaja diberikan agar para tuna grahita bisa produktif dan mandiri. Kini produksi batik yang mereka buat telah dipasarkan dan banyak digunakan oleh warga Purworejo.

Selain batik, di sentra ini para penyandang disabilitas melakukan produksi barang yang bernilai tinggi dan hasil pendapatan dan penjualan bisa diberikan kepada penyandang disabilitas dan sebagian baru digunakan untuk operasional. Harga batiknya sendiri tak terlalu mahal seperti batik kebanyakan karena 2×1 meternya dijual seharga Rp100.000.

  1. Batik Kultur Penyandang Difabel Mulai Mendunia

Bisnis Sosial

Awalnya Dea Valencia tak terpikir untuk membuka sebuah bisnis sosial. Apalagi jika memiliki karyawan yang memiliki keterbatasan fisik (difabel). Dirinya hanya hobi mengoleksi batik tradisional Indonesia namun karena tak ada uangnya makanya dia terpikir untuk membuka usaha batik saja.

Karena tak memiliki background membatik akhirnya dia pun belajar membatik dari nol. Dia pun belajar langsung praktik kemudian ilmunya dia tularkan kepada para tuna grahita yang berada di sekitar rumahnya. Akhirnya Dea memutuskan untuk menjadikan mereka sebagai karyawan agar mereka bisa hidup mandiri dan memiliki karya dan bermanfaat bagi banyak orang. Karena menurutnya setiap orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama termasuk mereka.

Dea memperkerjakan karyawan yang tak memiliki tak memiliki kaki tapi tangannya masih bisa bekerja. Tak hanya itu Dea juga mempekerjakan enam orang karyawan yang tuna rungu dan tuna wicara. Mengapa Dea lakukan karena dia ingin memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkontribusi dibalik perbedaanya mereka. Dan ternyata meski kekurangan mereka justru lebih tekun dalam bekerja.

Kini produksi batik Kultur Dea telah memiliki customer yang tersebar di Indonesia dan juga negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Hongkong, Belanda, Singapura dan Norwegia. Batik Kulturnya bisa mendunia karena Dea mencoba memasarkannya melalui internet marketing yang ilmunya dia dapatkan dari bangku perkuliahan di Univeristas Multimedia Nusantara Tanggerang.

 8. Difajek, Kaum Difabel Pun Bisa Naik Ojek dan Mengojek

Bisnis Sosial

Bagi kaum difabel ingin bepergian tentunya merasa kesulitan apalagi jika menggunakan kendaraan umum dan harus berdesak-desakan. Memang di beberapa transportasi umum telah tersedia tempat untuk penderita difabel namun itu tak banyak dan terkadang orang yang tak memiliki keterbatasan fisik tak mau mengalah memberikan tempat duduknya.

Belum lagi karena kekurangan fisik membuat kaum difabel kesulitan untuk mencari nafkah sehingga sebagian besar mereka dipandang sebelah mata. Hal tersebut membuat Triyono membuat sebuah inovasi transportasi ojek khusus penyandang difabel. Selintas tak ada yang berbeda karena motor ojeknya tampak biasa.

Namun, di sampingnya motornya diberikan oleh Triyono sebuah kursi untuk penumpangnya. Triyono yang juga penyandang difabel membuat kursi tersebut senyaman mungkin sehingga penumpangnya tidak terjatuh ketika kendaraan berjalan. Dirinya merakit ojek motor untuk difabel bekerja sama dengan tukang las di kawasan Padokan Bantul yang rakitannya

Uniknya ojek yang dibuat Triyono ini dikemudikan oleh penyandang difabel juga. Sesuai dengan filosofi bisnis Triyono yaitu membantu sesama difabel untuk bekerja dan beraktivitas. Meski penyandang Difabel, si pengemudi memiliki SIM D atau Surat Izin Mengemudi khusus bagi penyandang Difabel. Sehingga tak perlu diragukan kemahirannya dalam berkendara.

Cara memasarkan ojek ini mirip dengan Go-jek yakni secara online menggunakan smartphone menggunakan aplikasi dan bisa juga menggunakan pemesanan melalui telepon WhatsApp.  Sehingga  tukang Difajek tak perlu berkeliling mencari pelanggan.

Meski ojek ini dihargai dengan harga yang murah namun Triyono yakin bisnisnya ini memiliki prospek yang bagus apalagi ini pertama kali di Indonesia dan sudah mendapatkan perhatian dunia. Karena beberapa media luar negeri telah mengulasnya seperti Kantor Berita Nasional Reuters di Inggris dan Media Massa Online The Mail Online milik Malaysia.

Dan kini usahanya terus berkembang hingga akhir 2015, Triyono bisa mendirikan Difa City Tour And Travel resmi diluncurkan dan punya kantor di kawasan Pakualaman, Yogyakarta. Kini berkat usahanya Triyono pun mendapatkan penghargaan sebagai finalis tingkat nasional Wirausaha Mandiri di tahun 2010 dan meski memiliki kekurangan fisik selain keuntungan yang diraih dari Difajek, dia juga berhasil mendapatkan omzet dari agribisnis dan peternakan.

RELATED ARTICLES