Dea Valencia, Si Miliuner Batik yang Berhati Mulia

Dea Valencia

Menemukan pengusaha wanita yang sukses dan cantik tentunya banyak. Namun yang berhati mulia, Amat langka bukan? Namun tidak bagi Dea Valencia, si Miliuner Batik ini tidak mau kaya sendirian dia mengajak para disabilitas untuk turut menjadi pengusaha. Sejak usia 16 tahun Dea sudah menggeluti bisnisnya.

Berawal dari ketertarikannya akan pola batik namun dia tak mampu membeli batik sendiri. Kemudian Dea mulai mendaur ulang batik-batik lamanya yang sudah tidak model lagi. Batik tersebut bahkan ada yang sudah rusak karena dimakan serangga atau berlubang karena terkena arus banjir. Hingga akhirnya dia mulai memodifikasi batik-batik tersebut.

Dan ternyata dari pola-pola tersebut terbentuklah baju batik yang baru. Itulah yang menjadi asal muasal batik kulturalnya. Di awal bisnisnya dia hanya berhasil membuat 20 potong pakaian. Namun kini dia berhasil membuat batik hingga 800 potong untuk dipasarkan tiap bulannya. Harganya sendiri beragam mulai dari Rp250.000 hingga Rp1,2 juta rupiah. Atau setara dengan Rp3,5 Milyar per tahunnya.

Baca juga : Bisnis sosial berdampak besar

Jika ditanya berapa modalnya atau bagaimana dia memulai usaha. Maka Dea akan menjawab memulai semuanya dari nol. Bahan batiknya saja berasal dari batik-batik bekas. Begitu juga dengan desainnya karena dia tak bisa menggambar sehingga dia sendiri yang bergaya di depan kamera untuk mendesainnya. Kemudian dia mulai berani memiliki desainer sendiri yang bisa menggambar ada satu orang. Dea yang memiliki ide kemudian dia transfer ke otak untuk dijadikan gambar.

Mengajak Kaum Difabel untuk Merintis Usaha Bersamanya

Dea Valencia

Berbeda dengan pengusaha batik kebanyakan yang biasanya memperkerjakan orang yang normal agar pekerjaan cepat selesai. Ketika usahanya mulai mengalami kelancaran Dea justru mempekerjakan empat puluhan warga sekitarnya yang merupakan lulusan kejuruan Menjahit dari Lembaga Pendidikan Anak Tuna Rungu.

Karyawan yang dia pekerjakan beragam ada yang punya kaki tapi tidak punya tangan namun masih bisa bekerja. Ada yang tuna rungu, ada yang tuna wicara. Mengapa Dea justru mempekerjakan mereka karena ingin adanya giving back society (timbal balik kepada masyarakat).

Di awal mempekerjakan mereka tentunya menjadi tantangan bagi Dea, karena terhambat masalah komunikasi. Namun lambat laun Dea jadi mulai bisa mengatasi masalahnya. Dia mencoba berkomunikasi melalui media tulisan. Kehadiran penyandang disabilitas justru memberi motivasi sendiri bagi gadis kelahiran, 14 September 1994.

Karena mereka jarang mengeluh meski dengan keterbatasannya. Baginya pekerjanya adalah orang-orang yang hebat tak menyerah, tak mau dikasihani orang lain dan tetap berjuang mencari nafkah meski dalam keterbatasan. Bahkan tidak suka menunda-nunda pekerjaan atau membuat alasan-alasan. Padahal dirinya yang normal masih sering menunda pekerjaan dengan beragam alasan.

Terkadang Dea malu karena beberapa pegawainya yang menyandang kaum difabel lebih mandiri daripada Dea. Meski tangannya hanya sampai siku dan kakinya hanya sampai lutut si pekerja tersebut mampu melakukan semuanya sendiri. Mulai dari menjahit, menulis, hingga bisa mengirim SMS. Hingga kini usahanya yang dibangun bisa berkembang berkat pekerjanya yang mayoritas kaum difabel.

Untuk mendapatkan karyawan yang difabel maka Dea mengandalkan jaringan pertemanan difabel. Selain itu dia juga bekerja sama dengan Rehabilitation Center (RC) yang memberikan pelatihan keterampilan bagi para difabel salah satunya keterampilan menjahit. Jadi mereka diberikan tambahan pelatihan tiga bulan di tempat Dea. Bukan aspek kecepatan menjahit yang ditekankan bagi para karyawan melainkan aspek kerapian.

Tak Akan Menjual Produk yang Tidak Menarik Ketika Dikenakan Sendiri

Sebelum Dea  menjual produknya biasanya dia membuat prototype terlebih dahulu untuk dia kenakan. Jika dia merasa tidak bagus dikenakan maka dia tak akan menjualnya. Namun jika pas maka dia baru akan menjualnya. Dia selalu memegang prinsip tak akan menjual batik yang tak dia suka. Menurutnya bagaimana orang akan menyukai bajumu jika ternyata kamu tidak menyukai baju buatan mu. Kini dia sudah mampu membuat 1000 model baju batik yang harganya mulai dari Rp250.00 hingga Rp1.200.00. Padahal di awal dia hanya mampu membuat20 potong pakaian.

Internet Marketing adalah Cara Pemasarannya

Dea ValenciaJika ditanya rahasia batiknya banyak pesanan adalah kunci memasarkannya. Dengan internet marketing. Saat itu batik-batiknya dia unggah ke media sosial. Alhasil permintaan membludak. Beruntungnya Dea memang lulusan dari Multimedia Binus sehingga dia sudah diajarkan ilmu marketing lewat media sosial. 95% batik kulturnya habis terjual lewat penggunaan Facebook dan Instagram.

Dari Internet marketing akhirnya batik kultur pun menyebar dari mulut ke mulut. Namun bisnisnya ternyata tak berjalan mulus. Karena terhambat oleh hak paten akhirnya bisnisnya harus terhenti selama berminggu-minggu. Jadi awalnya nama mereknya bukanlah batik kultur by Dea Valencia melainkan Sinok Culture. Tapi karena Sinok Culture sudah ada yang punya jadinya dia harus mengganti nama. Padahal nama tersebut amat berarti bagi Dea, itu adalah nama kecilnya.

Setelah hak patennya beres, Batik Kultur Dea pun semakin sukses bukan hanya di dalam negeri namun juga di luar negeri. Di dalam negeri mayoritas pembelinya adalah orang Jakarta namun di luar negeri konsumennya adalah Australia, Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Jepang, Belanda, Jerman dan beberapa negara tetangga lainnya.

Dan kini meski usianya masih muda, Dea mampu meraup milyaran rupiah dari usaha batiknya. Menjadi pengusaha di usia yang masih belia tak terlepas dari peran sang ibunda, yang sejak usia 22 bulan sudah disekolahkan. Usia lima tahun sudah masuk SD. Tak hanya itu Dea yang terbilang pintar masuk kelas akselerasi atau percepatan. Dia mampu lulus SMP hanya dua tahun, SMA dua tahun dan masuk kuliah 15 tahun. Dan menjadi sarjana Ilmu Komputer pada usia 18 tahun. Jadi wajarlah Dea jika kini bisa menjadi pengusaha di usia yang teramat muda, 19 tahun.

Dea Pekerja Keras Sejak Dulu

Sepertinya kesuksesan Dea sekarang memang setimpal dengan kerja keras yang biasa dia lakukan. Sejak kuliah dia mulai sedikit tidur dan banyak bekerja. Sehari-hari dia tidurnya pada pukul 01.00 dini hari. Selain itu anak dari pasangan Ariyani Utoyo dan Iskiworo Budiarto ini selalu mencari jadwal kerja sepadat mungkin kalau bisa Cuma 3-4 hari sehingga  hanya empat hari yang kuliah dan tiga harinya bisa dimanfaatkan untuk membantu produk batik. Begitu seterusnya hingga dia lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun.

Selain itu Dea berbeda dengan teman seusianya yang menghabiskan waktunya untuk nongkrong di kafe. Dea justru segera pulang ke kosan untuk mengejar matahari sore yang pas untuk memotret baju-bajunya. Untuk bahan baku batik, biasanya Dea ambil dari kota asalnya semarang. Kemudian dia bawa ke kosannya untuk dijual ke Jakarta.

Batiknya Menjadi Trend di Kalangan Anak Muda, karena menggunakan desain yang masa kini dan warnanya yang cerah. Dan kini Dea bukan hanya sukses di usaha batiknya namun turut menjadi ambasador salah satu merek kecantikan bersama dengan beberapa artis lainnya.